Galau itu perlu!
Galau itu perlu!
Galau,
siapa sih yang tak pernah merasakan? Kata ini pun mendadak familiar di kalangan
“remaja gaul”, dan jadi istilah ngetrend di masyarakat . Galau sebenarnya bukan
jenis kosakata baru, kata ini sering disinonimkan dengan gundah atau risau. Tak
jelas siapa yang pertama kali mempopulerkan kembali kata ini, yang jelas setiap
buka timeline di Twitter, saya sering menemukan kata “galau” entah dengan
hashtag ataupun tidak. Sepertinya, Twitter memang tempat pas bagi orang-orang yang sedang
galau untuk mengekpresikan kegalauannya dengan bahasa tersurat maupun tersirat,
mengungkapkannya secara vulgar atau lewat bahasa yang puitis.
Peran
media social dan pariwara tak bisa disanggah lagi menjadi sarana ampuh untuk mempopulerkan
kata, tagline, menjadi sesuatu yang mudah diingat untuk tujuan tertentu. Tak
mengherankan jika kemudian ada artis yang menasbihkan dirinya sebagai spesialis
mencipta atau mempopulerkan kata-kata.
Kata-kata
itu pun ramai-ramai ditirukan masyarakat dari anak-anak hingga dewasa. sekedar
untuk bahan lelucon atau karena takut dianggap tidak gaul, mereka menggunakannya
meskipun terkadang konteksnya tidak tepat.
Agar
tak latah dan salah penggunaan ada baiknya kita menelisik arti patennya di kamus
Bahasa Indonesia. Merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia
edisi IV (2008), galau
memiliki arti kacau (tentang pikiran); “bergalau” berarti (salah satu
artinya) kacau tidak keruan (pikiran); dan “kegalauan” berarti sifat (keadaan
hal) galau. Mengecek ke Google Translate dan buku Kamus Indonesia-Inggris
John M. Echols dan Hasan Shadily, bahasa Inggris galau adalah hubbub dan
confusion. Artinya, galau lebih dekat dengan suasana pikiran yang tengah
bingung.
Bahasa Indonesia menyediakan kata
lain yang lebih tepat, “gundah”. Di KBBI, “gundah” berarti sedih, bimbang,
gelisah. Dilengkapi jadi “gundah gulana” berarti keadaan sangat sedih atau
sedih dan lesu. Untuk suasana hati yang sering disebut tengah “galau”
rasanya lebih pas bila mengatakannya tengah “gundah.”
Meski
sedang ngetren, nyatanya kalau boleh memilih manusia pada umumnya tidak ingin
di kondisi galau yang tak mengenakkan itu. Inginnya selalu tenang dan bahagia. Tapi
apadaya sudah sunatullah bahwa bahagia dan sedih akan datang silih berganti sepanjang
kehidupan manusia. Berharap terhindar dari masalah sama saja menawar matahari
terbit dari barat.
Dalam
firmanNya, Allah swt sudah menyatakan secara tegas bahwa akan menguji manusia
dengan berbagai permasalahan untuk tujuan kebaikan manusia yang mau berpikir.
Jadi
tak ada jalan lain, kecuali memang harus dihadapi. Namun adakah cara untuk menetralisir agar rasa yang diturunkan dari
kegalauan menjadi hal yang tidak terlalu mengganggu, minimal kita bisa
menjalani dan menghadapinya lebih ringan?
Saya
merasakan galau atau gundah ketika terbebani oleh masalah yang
terkadang datang berbarengan. Dalam kondisi itu, biasanya saya langsung terpikir
untuk segera mencari solusi karena tak ingin berlama-lama bergulat dengan emosi-emosi
negatif yang menganggu.
Sayangnya, tak semua masalah bisa
diselesaikan dalam waktu singkat. Ternyata ada banyak faktor yang mempengaruhi
siapnya sebuah solusi dan tuntasnya situasi. Dan saya tidak punya kendali untuk
mengatur faktor-faktor itu,terutama yang berhubungan dengan orang lain, agar
berjalan sesuai dengan harapan. Akibatnya saya pun jadi semakin resah. Inginnya
sih bisa segera terbebas dari stres dengan cara segera menyelesaikan masalah,
tapi kenyataannya masalah malah tak kunjung berlalu karena ada hal-hal di luar
kuasa yang belum bisa berubah sesuai harapan.Rasanya semakin ingin lepas justru
semakin kuat masalah itu melekat.
Akhirnya saya pun “terpaksa”
berdamai dengan kenyataan, menerima sebagai kondisi yang memang harus saya
alami dan rasakan. Ketidakterimaan atau penolakan kita terhadap masalah yang
menghampiri kita itulah yang terkadang menjadi lahan subur tumbuhnya stress.
Maka saya kembali belajar lagi konsep sabar dan ikhlas. Mengambil analogi dari fenomena
alam dan kehidupan ini, menyadari bahwa selalu ada suatu pola “kekacauan”yang terjadi
sebelum perubahan dan pertumbuhan. Saya mengamini prinsip chaos dalam ilmu fisika kuantum,yang menyatakan bahwa setiap hal
perlu menjadi kacau, berantakan dan tidak beraturan, sebelum hal tersebut bisa
menyusun kembali dirinya sendiri dalam tatanan yang lebih matang, lebih maju
dan lebih baik.
Terkadang kita perlu mengalami sakit
dan infeksi dulu sebelum kekebalan tubuh terbentuk dan menjadi semakin kuat saat
pulih. Berdirinya sebuah negara atau lahirnya tata pemerintahan yang baru pun harus
melewati “kekacauan” berbentuk revolusi atau evolusi.
Begitupun dengan kita, akan selalu
menemui momen-momen galau (bingung, resah, ragu ) sebelum akhirnya mengambil
langkah, pilihan dan keputusan yang sekarang hasilnya kita nikmati. Kesiapan untuk
melangkah ini bisa muncul dari kondisi eksternal maupun internal. Misalnya, kita
diharuskan melangkah karena sudah tiba di batas waktu tertentu, atau karena
kondisi internal, misalnya tiba-tiba saja hatinya mantap dan bulat untuk
memutuskan.
Menyadari tahapan galau memang perlu
itulah yang bisa membantu memperingan keadaan tidak nyaman yang kita rasakan
dan membantu menjalani prosesnya dengan lebih rileks. Mengizinkan diri untuk
menunggu, ketimbang berusaha mengatasi masalah secara tergesa. Jika kita sudah melewati proses penerimaan,
sabar dan ikhlas dan berada di titik kepasrahan maka tunggulah jalan keluar
akan terkuak, dan bersiaplah menjadi pribadi yang jauh lebih matang, bijak dan
tangguh.
Komentar
Posting Komentar