Taman Surgawi Al Hambra
Taman Surgawi Al Hambra
“Andaikata Tuhan menciptakan taman firdaus di dunia, taman itu
adalah Al Hambra- Viktor Hugo.
Kata-kata magis dari sastrawan
modern asal Perancis itu mengoda rasa penasaran saya untuk segera menjelajahi
ikon kota Granada di Andalusia. Terpaan angin pagi yang dingin tak mampu membendung
hasrat, beruntung mentari mau bersekutu dengan memberikan sinarnya yang hangat.
Pegunungan Sierra nevada yang menaungi Al hambra kendati berselimut kabut pun seolah
membentangkan tangannya menyambut kedatangan kami.
Dari kejauhan, benteng
merah Alhambra terlihat anggun dengan hiasan pohon-pohon cypress dan elm di
sekitarnya serta latar belakang pegunungan Siera Nevada yang menjulang setinggi
lebih dari 3.400 meter..Alhambra sendiri terletak di atas Sabika, sebuah bukit panjang
berhutan setinggi 150 meter di atas kota Granada.
Alhambra merupakan
kompleks istana dan benteng yang dibangun pada pertengahan abad ke-13 oleh Bani
Umayyah di Al-Andalusia. Awalnya bangunan ini dirancang sebagai kompleks militer,
namun kemudian dijadikan istana kerajaan Islam di Granada oleh raja pendiri
Muhammad bin Yusuf ben Nasr, yang lebih dikenal sebagai Alhamar.
Alhamar inilah yang ditengarai sebagai asal usul penyebutan nama
Al hambra, namun versi lain mengatakan Al hambra berasal dari kata bahasa arab,
hamra’ yang merupakan bentuk jamak
dari kata ahmar yang berarti merah.
Arti itu mungkin sesuai karena bangunan alhambra yang didominasi bata-bata
berwarna merah.
Setelah melewati jalan
menanjak tibalah kami di gerbang komplek istana dan benteng peninggalan
kerajaan Islam terbesar di Spanyol. Arloji di tangan masih menunjuk angka 7,
namun antrian sudah begitu mengular, padahal Al Hambra baru buka pukul 9 pagi.
Demi
memanfaatkan jeda, pemandu rombongan kami berbaik hati mengantrikan tiket,
sementara kami diberikan waktu menjelajahi kota Granada.
Kami menyusuri jalan
setapak menuju pusat kota Granada. Kota yang dibangun oleh bangsa Moor dan
pernah menjadi ibu kota Spanyol Muslim ini tampak lengang di pagi hari.
Kantor-kantor pemerintahan dan bangunan bersejarah bergaya art deco terlihat
masih tutup. Namun perekonomian sudah mulai berdenyut, di sepanjang jalan berderet
toko-toko cinderamata menawarkan pusparagam kebutuhan pelancong.
Lamat-lamat
saya mendengar lantunan murotal dari salah satu toko, yang ternyata milik
seorang muslim. Kami pun berbalas salam dan bertukar senyum hangat. Dengan
ramah pria keturunan Maroko ini mempersilahkan kami memilih sourvenir yang
menarik hati dan tak lupa menawarkan diskon istimewa. Tentu saja kesempatan itu
pantang kami sia-siakan.
Ah, aktivitas belanja memang selalu melenakan, tak terasa waktu
bergulir cepat. Sebentar lagi, Al Hambra buka, kami harus bergegas. Untuk
menghemat waktu, kami naik bus dari pusat kota Granada menuju perhentian Al
Hambra.
Di pintu masuk Al Hambra,
pemandu kami sudah menanti dengan tiket di tangan. Kami pun lekas masuk ke
dalam kompleks seluas 14 hektar ini. Begitu di dalamnya, kami serasa berada di taman
surgawi, gambaran kata-kata Viktor Vigo dan penyair Ibnu Zamrak begitu nyata. Panorama
serba hijau diselingi bunga aneka warna serta pinus yang berjejer di kedua sisi
jalan langsung memenuhi pandangan mata.
Belum lepas kekaguman,
kami sudah disuguhi lagi kecantikan taman dengan parit kecil ditengah serta air
mancur yang berlompatan di kedua sisinya. Area taman yang luas ini bernama
General Life atau Jannat Al Arif dalam bahasa Arab yang bermakna kebun para
orang mulia. Segala yang tersaji di general life merupakan representasi taman
surgawi yang tergambar dalam ayat-ayat Al Quran.
Ternyata keajaiban general
life ‘hanya’lah satu dari tiga keajaiban yang dimiliki Al hambra. Masih ada
Madina atau kota yang di dalamnya terdapat istana raja Nasir (Nasrid Palace)
dan AlCazaba atau komplek benteng tempur yang menunggu untuk dijelajahi.
Pesona Istana Nasrid
“Jaga mata Anda karena
tiada derita lebih berat selain selain menjadi buta di Alhambra”. Bunyi sebuah
syair yang menempel di plakat bagian belakang Jannat Al Arif sebelum memasuki
lorong menuju istana Nasrid atau Palacio Nazaries.
Syair yang diciptakan oleh sastrawan kesayangan raja, Ibnu Zamrak ini sulit dibantah ketika saya
masuk istana Nasrid. Kekaguman bertubi
merayapi ruang batin demi melihat keindahan mahakarya yang dibangun dengan keterampilan
seni tingkat tinggi dan kesungguhan hati.
Istana Nasrid disebut-sebut
sebagai bangunan Islam paling brillian di Eropa. Dengan ruangan-ruangan dan
halaman yang indah, lapisan dinding stuko (material yang terbuat dari tumbukan
batu, pasir, dan air) yang rumit, lantai yang cantik, langit-langit dengan
pahatan kayu terbaik, serta kubah stalaktit membuat karya bangunan ini memikat
dari segi pola geomeris dan simbolisnya. Sepanjang dinding stuko dan marmer
juga dihiasi dengan ukiran kaligrafi yang sarat makna. Misalnya, “wa la ghalibu illallah”
ditulis berulang-ulang di beberapa dinding dan sangat bermotif, yang artinya
tidak ada pemenang/kejayaan selain Allah, oleh Zawi ben Zirí, pendiri Banu
Nasri pesan ini mengingatkan para sultan
dan penghuni istana untuk selalu mentafakuri kekuasaan Allah SWT.
Di Istana ini juga terdapat
The Mexuar, yaitu ruang lobby tempat para tamu menunggu diterima emir/sultan.
Dari Mexuar kami masuk ke Patio Del Cuarto Dorado, sebuah rumah indah yang
dikelilingi tembok, tempat di mana Emir menerima tamu. Di sebelah kirinya
terdapat ruang emas Cuaro Dorado yang dibangun untuk Emir Yusuf I, sedangkan
the Palado de Comares sebagai tempat tinggal resminya.
Di sebelahnya lagi
dibangun Patio de Los Arrayanes dengan sebuah kolam rectangular yang sangat
menawan. Bagian Selatan dari patio ini dibayangi oleh dinding Palacio de Carlos
V atau istana raja Charles V yang konon dibangun untuk menyaingi kemegahan Al
Hambra dengan menduplikasi bangunan bernuansa Romawi.
Di bagian Selatan dari Menara Comares terdapat Sala de la Barca
(Hall of the Blessing) yang atapnya terbuat dari kayu cantik. Di sini terdapat
Salon de Comares, ruangan di mana para emir bernegosiasi dengan utusan
Kristiani. Bagian atap ruangan ini terdiri lebih dari 8000 kepingan kayu cedar
dengan pola bintang yang melambangkan tujuh tingkatan surga dalam Islam.
Istana ini dilengkapi
dengan pepohonan myrtuscommunis dan juga bunga-bunga yang indah harum semerbak,
serta suasana yang nyaman. Kemudian, ada juga Hausyus Sibb (Taman Singa atau
Patio de Los Leones), taman yang dikelilingi oleh 128 tiang yang terbuat dari
marmer. Di taman ini pula terdapat kolam air mancur yang dihiasi dengan dua
belas patung singa yang berbaris melingkar, dari mulut patung singa-singa
tersebut keluar air yang memancar.
Di dalamnya terdapat
berbagai ruangan yang indah, yaitu, ruangan Al-Hukmi (Baitul Hukmi), yakni
ruangan pengadilan yang dibangun oleh Sultan Yusuf I (1334-1354). ruangan Bani
Siraj (Baitul Bani Siraj), ruangan berbentuk bujur sangkar yang dipenuhi dengan
hiasan-hisan kaligrafi Arab, ruangan Bersiram (Hausy ar-Raihan) yang terdapat
pula al-birkah atau kolam pada posisi tengah yang lantainya terbuat dari marmer
putih. Luas kolam ini 34 x 4 m dengan kedalaman 1,5 m, . yang di ujungnya
terdapat teras serta deretan tiang dari marmer. Sekilas panoramanya mengingatkan pada kolam di Taj
Mahal, India.
Ada pula ruangan Dua
Perempuan Bersaudara (Baitul al-Ukhtain atau Sala de Dos Hermanas atau Hall of
Two Sisters), yaitu ruang yang khusus untuk dua orang bersaudara perempuan Sultan
Al-Ahmar. Ruangan Sultan (Baitul al-Mulk); dan masih banyak ruangan-ruangan
lainnya seperti ruangan Duta, ruangan As-Safa', ruangan Barkah, ruangan
Peristirahatan sultan dan permaisuri serta di sebelah utara ruangan ini ada
sebuah masjid yakni Masjid Al-Mulk
Benteng Terakhir
Puas mengagumi keindahan
istana nasrid, kami pun beralih menuju Al AlCazaba atau komplek benteng tempur.
Kami menaiki
salah satu bastion menara di Alcazaba. Begitu sampai di atas kami terpana
menyaksikan keindahan panorama. Hamparan pohon nan hijau dan gugusan
bukit-bukit yang dinaungi gunung Sierra Nevada membuat mata enggan berkedip.
Ironisnya dibalik keindahan itu, tersimpan cerita pilu. Di benteng inilah
kekuasaan Islam harus berakhir di tanah Andalusia.
Setelah menguasai Cordoba
dengan cara yang kejam, pasukan raja Ferdinand II dari Aragon dan Ratu Isabella
I dari Castile berupaya menumpas pasukan Islam dan menaklukan kejayaan Islam
yang masih tersisa, Granada jadi
incaran. Setelah melewati pertempuran yang panjang, sultan Granada
Boabdil (Muhammad XI) akhirnya mengibarkan bendera putih demi menghindari
pertumpahan darah yang lebih dashyat. Benteng terakhir yang akan dihancurkan pun
berhasil diselamatkan.
Setelah menyerahkan
kekuasaan, sulltan Boabdil dan
keluarganya pergi ke pengasingan. Mereka berhenti di suatu tempat yang tinggi
yang sekarang dinamai El Suspiro del Moro (Keluh Kesah Orang Moor). Dengan hati pilu mereka memandang istana yang megah
itu untuk terakhir kalinya. Ibu Boabdil konon berkata kepada putranya, ”Menangislah
seperti wanita untuk apa yang tidak dapat kau pertahankan sebagai pria!”
Di atas bastion, saya berpaku menatap kota Granada yang indah bagaikan
permata pada sebuah mahkota. Sejenak kubiarkan cerita masa silam menggenangi
angan, memahami kesedihan yang dirasakan
sang sultan.
Malam turun lekas menggantikan
senja yang pergi bergegas. Perlahan kami turun dari bastion meninggalkan
Alhambra yang akan segera ditutup. Namun petualangan kami tak berakhir di sini,
pertunjukan flamenco sudah menanti.
Christian, driver kami memenuhi janjinya mengantar kami ke
perkampungan di atas bukit tak jauh dari
Alhambra. Dari kejauhan musik flamenco yang kental dengan nuansa Arabia
terdengar sayup. Kami pun akhirnya tiba di rumah pertunjukan, di dinding
luarnya tertempel poster para penari flamenco yang akan tampil malam itu.
Satu
per satu, kami masuk ke sebuah ruangan yang ditata menyerupai panggung. Di
kanan-kiri dinding terpampang foto-foto keluarga penari yang menggambarkan
perjalanan karir mereka di dunia seni tari flamenco. Turis-turis Jepang
terlihat antusias memenuhi kursi-kursi yang disediakan. Sambil menunggu penari
bersiap, kami memesan minuman hangat.
Setelah semua penonton
duduk dan pemain bersiap, lampu diredupkan dan musik mulai diperdengarkan. Sebagai
intro, penyanyi melantunkan lagu berbahasa spanyol yang menyayat kalbu Setelah
itu, musik mulai masuk nada-nada tinggi dengan irama yang dinamis, penari-penari
flamenco pun muncul dengan tariannya yang khas dengan gerakan kaki dan hentakan
sepatu di lantai.
Mereka tak hanya menari, tapi menyuguhkan rangkaian kisah
yang berpadu dengan musik dan seni teatrikal. Kepawaian mereka menampilkan
pertunjukan sungguh membuat kami kagum dan terhibur. Tak sia-sia kami mendaki
perbukitan demi menonton tarian rakyat spanyol yang terkenal itu. Flamenco
menjadi penutup hari yang mengesankan di Granada. Adios!
Komentar
Posting Komentar